Perjanjian Yang Dibuat Jauh Hari Setelah Diketahui Adanya Penipuan, Tidak Merubah Penipuan Tersebut Menjadi Perdata

(Pembahasan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 960 K/Pid/2016 tanggal 29 November 2016)

Merujuk pada Katalog Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018, dijelaskan Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.

 

Lalu bagaimana pendapat Hakim tingkat Kasasi terhadap suatu perkara dimana dibuatnya Perjanjian sebagai upaya meyakinkan korban bahwa uangnya akan dikembalikan berdasarkan Perjanjian Pinjam Meminjam dan Pengakuan Hutang?

 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 960 K/Pid/2016 tanggal 29 November 2016, dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat :

  • Bahwa alasan-alasan kasasi/memori kasasi Jaksa/Penuntut Umum dapat dibenarkan karena putusan Judex Facti termaksud salah menerapkan hukum yang melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum karena justru merupakan tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh Terdakwa sangat merugikan saksi pelapor/korban (Frans Salim Kalalo) selaku direktur CV. Tridaya Jaya ;
  • Bahwa atas alasan dan pertimbangan Judex Facti salah dalam mengadili perkara a quo sebagai perkara perdata, karena timbulnya pengakuan hutang setelah sekian lama dihubungi tidak dapat seperti menghilang, sehingga Terdakwa sudah ada niat jahat Terdakwa dari sejak awal ;
  • Bahwa batasan antara wan prestasi dengan penipuan terletak pada “tempus delicti” atau waktu “perjanjian ditutup atau kontrak ditutup atau perjanjian/kontrak ditandatangani”. Apabila setelah (post factum) perjanjian atau kontrak ditutup/ditandatangani dilakukan suatu tipu muslihat, rangkaian kebohongan atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan wanprestasi. Namun, jika perjanjian itu atau kontrak setelah ditutup/ditandatangani ternyata “sebelumnya” (ante factum) telah dilakukan suatu tipu muslihat, rangkaian kata bohong atas martabat palsu dari salah satu pihak, adapun keadaan atau tipu muslihat, rangkaian kata bohong, keadaan palsu, martabat palsu itu “telah disembunyikan oleh salah satu pihak” maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan penipuan ;
  • Bahwa fakta terungkap di persidangan, dimana atas bujuk rayu Terdakwa terhadap saksi korban, maka saksi korban telah memberikan pinjaman uang pada bulan November 2013 kepada Terdakwa, kemudian Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, lalu dibuat akta pengakuan hutang dan baru dibuat pada tanggal 20 Februari 2014 artinya Terdakwa telah menerima pinjaman uang dari korban sebesar Rp10.500.000.000,00 (sepuluh miliar lima ratus juta rupiah) baru dibuat akta pengakuan hutang. Oleh karenanya perbuatan tersebut bukan wanprestasi tetapi adalah penipuan;

Dari pertimbangan hukum tersebut dapat disimpulkan:

  1. Adanya Perjanjian Pengakuan Hutang yang dibuat setelah sekian lama setelah Terdakwa sulit dihubungi dan seperti menghilang, menunjukkan adanya niat jahat Terdakwa dari sejak awal;
  2. Adanya bujuk rayu tipu muslihat yang dilakukan Terdakwa agar korban meminjamkan uang dan setelah Terdakwa tidak dapat mengembalikan uang tersebut baru dibuat akta pengakuan hutang maka perbuatan tersebut bukan wanprestasi tetapi adalah penipuan;

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top