Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Jo. Undang-Undang No.9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009).
Secara sederhana dapat dipahami, bahwa yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di PERATUN adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Pada garis besarnya bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif).
Pada perkara Nomor: 81 PK/PTUN/2018, gugatan diajukan berdasarkan adanya kesamaan nama yayasan antara Yayasan Wihara Dharma Bakti (Tergugat II Intervensi) dengan Yayasan Wihara Dharma Bakti (Penggugat). Namun Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Wihara Dharma Bakti (Penggugat) yang lebih dulu ada yang telah diterima dan dicatat dalam daftar yayasan sebagaimana surat Dirjen AHU Nomor
AHU-AH.01.06-1281 tanggal 14 September 2015, pengurus Yayasan Wihara Dharma Bakti adalah Hindharto Budiman selaku Ketua Umum dan Soewanto Widjaja Rianto selaku Sekretaris Umum.
Hal ini menunjukkan bahwa Tergugat dalam memberikan pengesahan terhadap Yayasan Wihara Dharma Bakti (Tergugat II Intervensi) hanya terfokus pada aspek formal belaka, namun mengabaikan aspek substantif. Atas dasar ini kemudian Penggugat memohonkan untuk membatalkan SK Kemenkumham Yayasan Tergugat II (Intervensi) melalui PTUN sampai pada tingkat peninjauan kembali (PK). PK diajukan oleh pemohon berdasar pada novum sebagaimana berita acara persidangan (sumpah bukti baru). Dimana novum yang diajukan tersebut bersifat menentukan, sehingga dapat menggugurkan pertimbangan dari putusan kasasi.
Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim menyatakan bahwa adanya dua nama yayasan yang sama “menunjukkan bahwa tergugat I cq Menteri Hukum dan HAM dalam memberikan pengesahan terhadap yayasan tergugat II hanya berfokus pada aspek formal belaka, namun mengabaikan aspek substantif”.
Selain itu Majelis Hakim juga menjelaskan “bahwa tindakan tergugat I dalam menerbitkan keputusan objek sengketa telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, jo Pasal 2 Ayat (1) dan (2) jo Pasal 4 Ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan UU Tentang Yayasan dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terutama asas kecermatan dan kehati-hatian oleh karena penerbitan keputusan objek sengketa aquo diambil tanpa terlebih dahulu mencari gambaran yang jelas mengenai fakta yang relevan dan semua kepentingan pihak ketiga yang tersangkut”.
Sehingga Majelis Hakim PK tidak sependapat dengan putusan Mahkamah Agung sebelumnya dan menyatakan bahwa “putusan Mahkamah Agung Nomor 555 K/TUN/2016 tanggal 13 Januari 2017, tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan”.